Perkembangan Kolonialisme Inggris di Indonesia (1811-1816)

Sejak tahun 1806 Inggris berusaha melemahkan kekuasaan Belanda di Nusantara. Usaha itu memuncak pada tahun 1810 dan serangan yang menentukan terjadi pada 1811. Sejak saat itu Indonesia resmi dikuasai EIC (East India Company), organisasi dagang Inggris di India Timur. Tanggal 18 September 1811 adalah tanggal dimulainya kekuasaan Inggris di Hindia. Gubernur Jenderal Lord Minto secara resmi mengangkat Raffles sebagai penguasanya. Pusat pemerintahan Inggris berkedudukan di Batavia.

Raffles berpegang pada tiga prinsip. Pertama, segala bentuk kerja rodi dan penyerahan wajib dihapus, diganti penanaman bebas oleh rakyat. Kedua, peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan para bupati dimasukkan sebagai bagian pemerintah kolonial.  Ketiga, atas dasar pandangan bahwa tanah itu milik pemerintah, maka rakyat penggarap dianggap sebagai penyewa. Berangkat dari tiga prinsip itu Raffles melakukan beberapa langkah, baik yang menyangkut bidang politik pemerintahan maupun bidang sosial ekonomi.

Pemerintahan Raffles cenderung mendapat tanggapan positif dari para raja dan rakyat setempat, dikarenakan:
  1. Para raja dan rakyat Nusantara tidak menyukai pemerintahan Daendels yang sewenang-wenang dan kejam.
  2. Ketika masih berkedudukan di Penang, Malaysia, Raffles beberapa kali melakukan misi rahasia ke kerajaan-kerajaan yang anti Belanda di Nusantara, seperti Palembang, Banten, dan Yogyakarta dengan janji akan memberikan hak-hak lebih besar kepada kerajaan-kerajaan tersebut.
  3. Sebagai seorang liberalis, Raffles memiliki kepribadian yang simpatik. Ia menjalankan politik murah hati dan sabar walaupun dalam praktiknya berlainan.
 Inggris berusaha melemahkan kekuasaan Belanda di Nusantara Perkembangan Kolonialisme Inggris di Indonesia (1811-1816)
A. Kebijakan dalam bidang pemerintahan
Raffles didampingi oleh para penasihat yang terdiri atas: Gillespie, Mutinghe, dan Crassen. Prinsip-prinsip pemerintahan Raffles sangat dipengaruhi oleh pengalaman Inggris di India. Pada hakekatnya, Raffles ingin menciptakan suatu sistem yang bebas dari unsur paksaan seperti yang diterapkan oleh VOC dan Daendels. Langkah/tindakan-tindakan Raffles antara lain sebagai berikut :
  1. Pulau Jawa dibagi menjadi 16 karesidenan. Setiap karesidenan dibagi menjadi beberapa distrik. Setiap distrik terdapat beberapa divisi (kecamatan), yang merupakan kumpulan dari desa.
  2. Merubah sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi sistem kolonial yang bercorak barat. Sistem pemerintahan feodal oleh Raffles dianggap dapat mematikan usaha-usaha rakyat. Akan tetapi, dalam praktiknya, penghormatan tradisional antara rakyat dan pemimpinnya sulit dihilangkan.
  3. Bupati-bupati atau pengusaha-pengusaha pribumi dilepaskan kedudukannya yang mereka peroleh secara turun-temurun. Mereka dijadikan pegawai pemerintah kolonial yang langsung di bawah kekuasaan pemerintah pusat.

Raffles juga memaksa Sultan Hamengkubuwana II turun dari tahta. Sultan Hamengkubuwana II berhasil diturunkan dan Sultan Raja dikembalikan sebagai Sultan Hamengkubuwana III. Sebagai imbalannya Hamengkubuwana III harus menandatangani kontrak bersama Inggris. Isi politik kontrak itu antara lain sebagai berikut.
  1. Sultan Raja secara resmi ditetapkan sebagai Sultan Hamengkubuwana III, dan Pangeran Natakusuma (saudara Sultan Sepuh) ditetapkan sebagai penguasa tersendiri di wilayah bagian dari Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Paku Alam I.
  2. Sultan Hamengkubuwana II dengan puteranya Pangeran Mangkudiningrat diasingkan ke Penang.
  3. Semua harta benda milik Sultan Sepuh selama menjabat sebagai sultan dirampas menjadi milik pemerintah Inggris.

B. Tindakan dalam bidang ekonomi
Raffles melakukan beberapa tindakan untuk memajukan perekonomian di Hindia. Tetapi program itu tujuan utamanya untuk meningkatkan keuntungan pemerintah kolonial. Beberapa kebijakan dan tindakan yang dijalankan Raffles antara lain sebagai berikut.
  1. Pelaksanaan sistem sewa tanah atau pajak tanah (land rent) yang kemudian meletakkan dasar bagi perkembangan sistem perekonomian uang. Menurut Raffles, pemerintah adalah satu-satunya pemilik tanah. Dengan demikian sudah sewajarnya apabila penduduk Jawa menjadi penyewa dengan membayar pajak sewa tanah dari tanah yang diolahnya.
  2. Penghapusan pajak dan penyerahan wajib hasil bumi. Pajak yang dibayarkan penduduk diharapkan berupa uang. Tetapi kalau terpaksa tidak berupa uang dapat juga dibayar dengan barang lain misalnya beras
  3. Penghapusan kerja rodi dan perbudakan, namun dalam pelaksanaannya masih dilaksanakan misalnya kerja rodi untuk pembuatan dan perbaikan jalan ataupun jembatan.
  4. Penghapusan sistem monopoli, namun dalam pelaksanaannya Rffles melakukan monopoli garam.
  5. Petani diberi kebebasan untuk menanam tanaman ekspor, sedang pemerintah hanya berkewajiban membuat pasar untuk merangsang petani menanam tanaman ekspor yang paling menguntungkan.
  6. Peletakan desa sebagai unit administrasi penjajahan.  Dimaksudkan agar desa menjadi lebih terbuka sehingga bisa berkembang.

C. Bidang Ilmu Pengetahuan
Ditulisnya buku “History of Java”. Ia dibantu oleh juru bahasanya, Raden Ario Notodiningrat dan Bupati Sumenep, Notokusumo II. Buku ini diterbitkan di London, 1817 dan dibagi dalam dua jilid. Jilid I tentang kebudayaan Jawa dan perekonomian, jilid II tentang sejarah Jawa dan bangunan-bangunan dari zaman Hindu-Buddha di Jawa.

Raffles memberi bantuan pada John Crawfurd (Residen Yogyakarta) untuk mengadakan penelitian yang menghasilkan buku “History of the East Indian Archipelago”,  diterbitkan dalam 3 jilid di Edinburg, 1820. Raffles juga aktif mendukung Bataviaach Genootschap, sebuah perkumpulan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Ditemukannya bunga Rafflesia Arnoldi dan dirintisnya Kebun Raya Bogor.

Berakhirnya Kekuasaan Raffles
Ditandai dengan adanya Convention of London, 1814. Perjanjian yang ditandatangani di London oleh wakil-wakil Belanda dan Inggris, yang isinya:
  1. Nusantara dikembalikan pada Belanda.
  2. Jajahan Belanda, seperti Sailan, Kaap Koloni, Guyana, tetap di tangan Inggris.
  3. Cochin (di Pantai Malabar) diambil alih oleh Inggris, sedangkan Bangka diserahkan oleh Belanda sebagai gantinya.

Perjanjian ini lahir pada masa pemerintahan John Fendall, pengganti Raffles yang baru berkuasa selama 5 hari. Raffles kemudian diangkat menjadi gubernur di Bengkulu, meliputi Bangka dan Belitung. Karena pemerintahan Raffles berada di antara dua masa penjajahan Belanda, pemerintahan Inggris itu disebut sebagai masa Interregnum (masa sisipan).

Secara umum Raffles boleh dikatakan kurang berhasil untuk mengendalikan tanah jajahan sesuai dengan idenya. Pemerintah Inggris tidak mendapat keuntungan yang berarti. Sementara rakyat juga tetap menderita 

Previous
Next Post »