Pada saat bangsa Indonesia memproklamasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Timor Timut tetap berada di bawah penjajah Portugis. Pada tahun 1974 pemerintah Portugis akan melaksanakan Dekolonisasi daerah-daerah jajahannya, termasuk Timor (Timor Timur). Dekolonisasi adalah lepasnya negara-negara jajahan dari tangan negara penjajah. Timor Timur yang sebelum bergabung dengan Indonesia lebih dikenal dengan Republik Demokratik Timor Leste adalah sebuah wilayah yang terletak di sebelah utara Australia dan bagian timur pulau Timor.
A. Proses Pra-Integrasi
Titik awal proses penyatuan integrasi bermula saat Portugis yang menduduki wilayah Timor Timur menerapkan kebijakan dekolonisasi Portugis tahun 1974 pada wilayah koloninya. Sejak saat itu, rakyat Timor Timur mulai mendirikan partai-partai guna merancang kemerdekaannya. Timor Timur yang mulai banyak mendirikan partai ini kemudian ‘terjebak’ dalam perang saudara karena perbedaan pendapat yang sangat mencolok dan tidak kunjung menemui titik terang. Perbedaan pendapat ini terjadi diantara 3 partai terbesar, yakni Fretilin, UDT, dan Apodeti.
Perang saudara yang melibatkan 3 partai terbesar pada pertengahan 1975 tersebut memunculkan dua aliansi, Fretilin dengan UDT melawan Apodeti. Akan tetapi, koalisi antara Fretilin dengan UDT ini tidak berlangsung lama, karena pada 27 Mei 1975 UDT mengumumkan keluar dari koalisi. Alasan UDT keluar dari koalisinya dengan Fretilin disebabkan karena perbedaan paham. Selanjutnya, UDT bergabung dengan Apodeti dan berjuang untuk kemerdekaan Timor Timur dan juga hubungan dengan Indonesia.
Ketakutan akan menyebarnya paham komunis di Timor Timur tidak hanya dicemaskan oleh UDT dan Apodeti, tapi juga Indonesia. Setelah pertemuan beberapa wakil UDT ke Jakarta dengan Letjen Ali Murtopo, diketahui bahwa Fretilin adalah partai komunis. Mengetahui fakta tersebut, Ali Murtopo mewanti-wanti wakil-wakil dari UDT tersebut untuk terus waspada dengan pergerakan Fretilin.
Kemudian, pada tanggal 11 Agustus 1975 UDT melakukan kudeta dan berhasil menguasai titik-titik penting pemerintahan dan memukul mundur Fretilin ke pedalaman. UDT juga melakukan serangkaian demonstrasi anti-komunis. Di lain pihak, setelah dipukul mundur oleh UDT, Fretilin meminta bantuan militer dari Portugal yang juga merupakan anggota NATO. Praktis di kemudiaannya, Fretilin lebih unggul.
Melihat kekuatan Fretilin disokong oleh Portugal, pada 20-27 Agustus 1975, UDT akhirnya bergabung dengan Apodeti untuk melawan serangan Fretilin. Serangan demi serangan yang dilancarkan Fretilin memaksa para pemimpin dari UDT dan Apodeti untuk mengadakan keputusan demi rakyat Timor Timur yang semakin menderita akibat perang saudara tersebut. Setelah berunding, akhirnya pada 7 Desember 1975, UDT dan Apodeti mengumumkan proklamasi kemerdekaan di Balibo yang menyatakan bahwa Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia.
B. Proses Integrasi
Setelah UDT dan Apodeti, menyatakan bergabung dengan Indonesia, dibentuklah suatu pemerintahan sementara pada 18 Desember 1975 diatas kapal perang di pelabuhan Dili. Tujuan didirikannya PSTT adalah untuk menjamin terselenggaranya tertib pemerintahan, tertib administrasi, tertib hukum, dan keamanan. PSTT didirikan atas dasar kebulatan tekad rakyat Timor-Timur.
Kemudian, Secara serentak proklamasi pembentukan PSTT diumumkan di New York dan di Dili. Teks proklamasi tersebut antara lain disampaikan kepada Presiden RI, Sekretaris Jendral PBB, Dewan Keamanan PBB, dan perwakilan Negara-negara sahabat. Dengan keputusan no. 2/PS/TT/1975, tertanggal 18 September 1975, telah disahkan personalia PSTT, yaitu :
- Gubernur : Arnaldo dos Reis Araujo (Apodeti)
- Wakil Gubernur : Lopez da Cruz (UDT)
- Kepala Dewan Pertimbangan : G. Gomsaves (Apodeti)
- Kepala Staf Ahli : Ir. Carrascalao (UDT)
- Kepala Sekretariat : Jeka (Apodeti)
C. Proses Pasca-Integrasi
Pada tanggal 31 Mei 1976 DPR Timor-Timur mengeluarkan petisi yang isinya mendesak pemerintah Republik Indonesia agar secepatnya menerima dan mengesahkan bersatunya rakyat dan wilayah Timor Timur ke dalam Negara Republik Indonesia.
Atas keinginan bergabung rakyat Timor Timur dan permintaan bantuan yang diajukan, pemerintah Indonesia lalu menerapkan “Operasi Seroja” pada Desember 1975. Operasi militer ini diam-diam didukung oleh Amerika Serikat (AS) yang tidak ingin pemerintahan komunis berdiri di Timor Timur. Pada masa itu Perang Dingin antara AS dengan Uni Sovyet yang komunis memang tengah berlangsung.
Bersamaan dengan operasi-operasi keamanan yang dilakukan, pemerintah Indonesia dengan cepat juga menjalankan proses pengesahan Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia dengan mengeluarkan UU No. 7 Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan pembentukan Daerah Tingkat I Timor Timur. Pengesahan ini akhirnya diperkuat melalui Tap MPR nomor IV/MPR/1978.
Setelah itu, tanggal 3 Agustus 1976 Menteri Dalam Negeri Amir Machmud, di gedung DPRD tingkat 1 Timor Timur melantik gubernur dan wakil gubernur Timor Timur masing-masing Arnaldo dos Reis Araujo dan Fransisco Lopez da Cruz, dan juga pelantikan ketua dan wakil ketua DPRD tingkat 1 Timor Timur masing-masing Guilherme Gom Salvez dan Gaspar Correa da Silva Nunes. Timor Timur secara resmi menjadi propinsi ke 27 di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia
Setelah itu, tanggal 3 Agustus 1976 Menteri Dalam Negeri Amir Machmud, di gedung DPRD tingkat 1 Timor Timur melantik gubernur dan wakil gubernur Timor Timur masing-masing Arnaldo dos Reis Araujo dan Fransisco Lopez da Cruz, dan juga pelantikan ketua dan wakil ketua DPRD tingkat 1 Timor Timur masing-masing Guilherme Gom Salvez dan Gaspar Correa da Silva Nunes. Timor Timur secara resmi menjadi propinsi ke 27 di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia
Akan tetapi, penguasaan Indonesia terhadap wilayah itu ternyata menimbulkan banyak permasalahan yang berkelanjutan, terutama setelah berakhirnya “perang dingin” dan runtuhnya Uni Soviet. Setelah terjadinya insiden Santa Cruz dan diberikan nobel perdamaian kepada pemimpin Fretilin, yaitu Xanana Gusmao dan Uskup Belo, dukungan rakyat untuk merdeka semakin besar. Pada masa kepemimpinan Presiden B.J. Habibie, hal itu dianggapnya sebagai beban politik dan mahal secara ekonomi hingga pada akhirnya diputuskanlah bahwa propinsi Timor Timur diberikan kebebasan untuk merdeka.
Namun hal itu juga melalui beberapa tahapan proses. Salah satunya adalah pelaksanaan jajak pendapat pada 8 Agustus 199 di Timor Timur. Dalam hal ini, Indonesia tetap bertanggung jawab pada keamanan pelaksanaan tersebut yang tertuang dalam 2 kesepakatan: Pertama, kesepakatan tentang modalitas pelaksaan penentuan pendapat via jajak pendapat, Kedua, kesepakatan tentang Polri sebagai penanggung jawab keamananan. Dapat disimpulkan bahwa Timor Leste atau Timor Timur memutuskan untuk lepas dari NKRI karena adanya masalah pelanggaran HAM yang terjadi selama proses integrasi berlangsung.
Namun hal itu juga melalui beberapa tahapan proses. Salah satunya adalah pelaksanaan jajak pendapat pada 8 Agustus 199 di Timor Timur. Dalam hal ini, Indonesia tetap bertanggung jawab pada keamanan pelaksanaan tersebut yang tertuang dalam 2 kesepakatan: Pertama, kesepakatan tentang modalitas pelaksaan penentuan pendapat via jajak pendapat, Kedua, kesepakatan tentang Polri sebagai penanggung jawab keamananan. Dapat disimpulkan bahwa Timor Leste atau Timor Timur memutuskan untuk lepas dari NKRI karena adanya masalah pelanggaran HAM yang terjadi selama proses integrasi berlangsung.